Jumat, 29 Juli 2011

MAAF, RINGAN TAPI BERAT

Selama ini kita dipertemukan dengan wacana yang selalu menekankan kita akan pentingnya memaafkan dan berlemah lembut terhadap sesama. Apakah itu berarti kita tidak perlu meminta maaf, karena merasa diri sudah pasti dan layak untuk dimaafkan? Atau karena kita berpikir bahwa sudah menjadi kwajiban merekalah untuk memaafkan kita?

Ukhty fillah, adalah benar menjadi kwajiban kita memaafkan sesama (dalam hal yang memang masih disyariatkan). Adalah sebuah keberuntungan dan kemuliaan bagi kita untuk menghapus kesalahan sesama. Adalah kesehatan jiwa dengan melapangkan dada kita terhadap rasa sakit yang ditimbulkan oleh sesama. Adalah kebahagiaan dan kelegaan hati jika kita bisa melupakan sikap buruk sesama kepada diri kita. Demikian itulah akhlak yang harus kita miliki. Akan tetapi bagaimana halnya jika posisinya dibalik, mengingat kita semua adalah manusia biasa yang tidak luput dari berbuat salah dan dosa? Akankah kita menempatkan diri dalam posisi sebagai si korban? Pantaskah hati kita berucap, "Sudah jadi kwajiban elo maafin gue." Atau kita berdiam diri dan menganggap lewat semua dosa kita begitu saja? Atau kita pura-pura lupa akan kesalahan kita? Atau justru kita sama sekali tidak merasa bersalah? Subhanalloh...mudah-mudahan tidak ya ukhty.

Sekarang bagaimana pula sikap kita jika ternyata ada seseorang yang mengingatkan dan menegur kesalahan kita? Bagaimana jika turun sebuah nasehat kepada kita? Jawabannya ada di dalam diri kita masing-masing. Ada yang merasa bersyukur dan berterima kasih karena merasa telah terselamatkan, sehingga tidak berlarut-larut dalam keburukan yang selanjutnya. Ada yang menerima nasehat dan langsung introspeksi diri. Ada yang merasa sakit saat mendengarnya tetapi masih mau merubah sikap. Ada yang langsung merasa diserang, hati sakit dan pedih serasa disayat sembilu lalu membantah teguran dan nasehat tersebut. Dan ada pula yang sakit hati lalu membantah sekaligus memutar balik fakta, menuduh bahwa lawan bicaranya itulah yang berbuat, lalu dia pun keluar teori-teori untuk menasehati balik...wal'iyadzubillah.

Ukhty fillah, nasehat itu ibarat jamu...pahit memang tetapi menyehatkan. Apakah kita akan menelannya ataukah kita akan memuntahkannya, atau memuntahkan sekaligus menyemprotkannya pada muka sang pemberi jamu? Semua kembali kepada kesadaran diri kita masing-masing. Tak ada seorang pun yang bisa memaksakan kita untuk menelannya. Yang perlu dicatat, seseorang itu harus bisa menahan diri merasakan pahitnya obat dan bersabar menahan diri dari hal-hal yang diinginkannya, semua itu demi pemulihan badannya yang sedang sakit. Begitu pula kesabaran dalam berusaha mengobati penyakit hati, yang justru inilah yang lebih penting. Mengapa? Karena penyakit badan bisa lepas dengan kematian, akan tetapi penyakit hati bisa berlanjut dengan siksa yang abadi setelah kematian. Dan kita berlindung kepada Alloh dari hal tersebut.

Penyakit hati itu tersembunyi. Boleh jadi pemiliknya tidak tahu, karena itu dia mengabaikannya. Kalaupun tahu, mungkin dia tidak sabar menanggung pahitnya obat, karena obatnya adalah menentang nafsu. Untuk mengembalikan keadaan agar sehat dan segar kembali maka dilakukan pengobatan dengan melihat jenis penyakitnya. Seperti panas, maka diobati dengan dingin agar tidak semakin panas dan tidak pula terlalu dingin yang bisa menjadi penyakit baru. Dalam hal ini diperlukan jalan tengah. Kikir diobati dengan sedekah dan mengeluarkan harta, tapi tidak perlu berlebih-lebihan dan boros. Pemarah dengan mengendalikan amarah, begitu seterusnya. Bagaimana pula dengan penyakit gengsi untuk minta maaf? Mari kita jawab sendiri-sendiri ^_^

Ukhty fillah, janganlah ketidakmampuan kita untuk memaksakan diri mengakui kesalahan akhirnya mendorong kita untuk  berbuat curang, memutar balik perkara dan menuduh orang itulah yang telah melakukan kesalahan. Ingatlah dengan firman Alloh dalam QS AZ ZUKHRUF ayat 58 : "Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja, sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar."
Juga dalam QS AN NISA ayat 112: "Dan barangsiapa yang mengerjakan kesalahan atau dosa, kemudian dituduhkannya kepada orang yang tidak bersalah, maka sesungguhnya ia telah berbuat suatu kebohongan dan dosa yang nyata." Dalam QS AL QOSHOSH ayat 50 Alloh pun berfirman: "Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Alloh sedikitpun. Sesungguhnya Alloh tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang dholim."
Di dalam Sunan At Turmudzi dari hadis Abu 'Umamah ia berkata: Rosululloh bersabda: "Tidaklah sesat suatu kaum setelah mengikuti petunjuk, kecuali didatangkan kepada mereka perdebatan."
Adapun menahan diri dari menyakiti dengan lisan itu merupakan sebab mendapat jaminan Nabi untuk masuk surga: "Barangsiapa yg menjamin bagiku untuk menjaga apa yg diantara 2 janggutnya dan yg diantara kedua kakinya maka aku jamin baginya surga."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

*Memperbaiki diri adalah alat yang ampuh untuk memperbaiki orang lain*
Silakan berkomentar dengan sopan dan tidak bertentangan dengan syari'at.
Terima kasih.