Kamis, 28 Juli 2011

HIDUP ITU ...

Hidup adalah perjuangan.
Hidup adalah pengorbanan.
Hidup adalah pilihan.
Hidup adalah ibadah.
Hidup adalah misteri.
Hidup adalah cinta.
Hidup adalah ...
Siapapun bebas menjawab titik-titik di atas, dan semuanya berhak untuk dibenarkan, itulah pendapat. Sebagaimana orang bilang: lain kepala lain pula pendapatnya. Jika saya meminta semuanya menjawab dengan kata yang sama, maka sama artinya saya memaksakan semua kepala menjadi sama. Bukan saja tidak adil, tetapi itu adalah hal yang tidak mungkin bukan? Perhatian: dikhususkan dalam hal ini saja yah, urusan agama tentu beda lagi, karena ada patokannya sendiri.

Kembali pada topik semula, apapun itu jawabannya maka bicara hidup tentu tak bisa lepas dari kata susah, sulit, sedih dkk. Dalam hal ini maksudnya adalah dalam periode hidup itu sendiri, jadi bukan berarti tidak pernah lepas sama sekali dalam rentang periode tsb, itulah konteks kalimat yang saya tuju. Sebagaimana kalimat berikut, hidup itu tidak bisa lepas dari makan, artinya tanpa makan tentu kita tidak bisa hidup, alias mati. Jadi bukan berarti kemana-mana kita selalu makan, setiap saat setiap tempat, bukan demikian. Ah, tentu teman-teman mengerti maksud saya, bagi yang belum mengerti maka saya anggap sudah mengerti :)

Karena hidup itu tidak bisa lepas dari kata susah (dan saudara-saudaranya), tentunya kata itu pun akan selalu mengisi perjalanan hidup ini, dan itu berarti mau tidak mau kita pun harus mengakrabinya. Padahal kata-kata tersebut masuk golongan: tidak enak. Dan sudah menjadi tabiat manusia, tentunya tidak menyukai hal-hal yang tidak enak. Maunya hidup itu ya yang enak-enak saja. Nah, sekarang bagaimana caranya supaya kita bisa merasa enak, walaupun harus selalu bertemu dengan kata 'susah' yang pasti akan ada sepanjang periode perjalanan hidup ini?

Mm...kalau boleh saya mengibaratkan 'kesusahan' itu adalah garam. Maka tugas kita adalah mengambil sesuai takaran, mencampurnya dengan makanan yang lain, baru kita menelannya. Dengan begitu, garam yang tadinya benar-benar berasa asin dan tidak enak itu bisa berubah menjadi enak dan bermanfaat bagi tubuh kita. Lalu apa dong campurannya? Sebagai manusia beragama, maka kita pun harus mengambil resepnya dari ajaran agama pula. Misal, untuk menikmati 'susah' agar menjadi enak maka kita perlu mencampurnya dengan sabar, solat, ikhlas, tawakal, syukur, dan lain sebagainya, seperti apa yang telah dituntunkan Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam. Yang harus diingat, tentukan campurannya adalah yang memiliki sifat yang berlawanan. Apa jadinya jika kita menelan garam bersama air laut, dkk  yang juga sama-sama asin? Begitulah, apa jadinya jika kita mencampur kesusahan bersama amarah dan ketidakrelaan, dkk? Makin susah, makin tidak enak tentu!

Untuk merasakan enak, ternyata tidak selalu harus membuangnya bukan? Justru dengan mengambilnya sesuai takaran yang tepat, maka fungsinya akan berubah menjadi 'bumbu' pelezat kehidupan ini. Caranya? Ambillah kesusahan itu secukupnya untuk introspeksi diri, sehingga diri kita akan menjadi lebih baik di masa yang akan datang. Ambillah kesusahan itu untuk melihat orang-orang yang ada di bawah kita, dengan begitu kita akan bersyukur, lega dan akan bertambah nikmat kita. Ambillah kesusahan itu untuk mendekatkan diri dan bertaubat kepada Alloh, niscaya Alloh akan membersihkan dosa-dosa kita kemudian mengganti kesusahan menjadi kelapangan dan karunia. Begitu seterusnya...

Jangan lupa, supaya asinnya garam tidak terasa menyiksa, maka perbesarlah wadahnya. Seujung sendok garam masih akan sangat asin jika kita mencampurnya dengan sesendok air. Berbeda halnya jika kita meletakkannya ke dalam semangkuk sup. Demikian pula berbagai rasa susah, sedih, sakit, dkk akan kurang terasa apabila kita menerimanya dengan lapang dada. Bahkan rasa-rasa tidak enak tersebut akan berubah menjadi enak, ringan dan indah dijalani. Bisa jadi kita malah akan merindukan masa-masa itu lagi. Masa-masa yang menjadikan hidup ini dinamis dan penuh warna-warni.

Bukan cuma itu, cara menerimanya pun ternyata ada aturannya juga lho. Sanggupkah kita menengadahkan tangan untuk menerima seujung sendok garam secara terus menerus tiada henti sepanjang hidup kita? Tak usah sepanjang hayat dikandung badan, sehari saja mungkin kita tak sanggup. Masalah, kesusahan, kesedihan, dkk tak akan sanggup kita pikul secara terus-menerus. Maka istirahatkanlah sejenak. Letakkanlah kesusahan itu terlebih dahulu. Rilekskan syaraf kita, dan caranya pun bermacam-macam sepanjang tidak bertentangan dengan syariat. Selanjutnya kita akan mampu memikul kesusahan itu kembali, bahkan dengan lebih kuat dan  lebih fresh. Setiap memikul lagi maka istirahatkan lagi begitu seterusnya, hingga waktu yang ditentukan itu tiba, dan kita masih dalam keadaan fresh, bebas dari jatuh stress. InsyaAlloh.

Jadi...menurut Anda hidup itu apa? :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

*Memperbaiki diri adalah alat yang ampuh untuk memperbaiki orang lain*
Silakan berkomentar dengan sopan dan tidak bertentangan dengan syari'at.
Terima kasih.