Selasa, 02 Agustus 2011

BAGAIMANA SEHARUSNYA KITA MEMANDANG MUSIBAH?

Manusia terbagi menjadi beberapa kelompok dalam memandang musibah. Ada yang memandang musibah sebagai akhir segalanya. Ada pula yang memandang ringan musibah bahkan meminta musibah ditimpakan kepadanya. Ada pula yang berdiri diantara keduanya. Lantas bagaimana kita seharusnya memandang musibah menurut kacamata syari'at?

Kita harus yakin bahwa Alloh menciptakan musibah beserta nikmatnya. Kita bisa berduka karena memandang dari suatu sisi, adapun di sisi yang lain kita justru bergembira. Oleh karena itu kita wajib menghimpun sabar dan syukur dalam menghadapi keadaan yang tidak disebut sebagai musibah secara mutlak dan tidak disebut sebagai nikmat secara mutlak.

Asy Syaikh Ahmad bin Abdurrohman bin Qudamah Al Maqdisy dalam kitabnya Minhajul Qoshidin memaparkan, bahwa ada lima perkara yang harus dihadapi dengan gembira oleh orang yang berakal dan sekaligus disyukurinya berkaitan dengan musibah, yaitu:
1. Setiap musibah atau sakit yang menimpa harus digambarkan bahwa musibah atau sakitnya itu masih bisa lebih parah sesuai kehendak Alloh. Maka hendaklah bersyukur selagi apa yang dialaminya tidak lebih parah.
2. Musibah itu bukan dalam masalah agamanya. Umar bin Al Khoththob rodhiyallohu 'anhu berkata, "Tidaklah aku ditimpa suatu musibah melainkan Alloh mempunyai hak atas diriku untuk melakukan empat hal: selagi musibah itu tidak dalam agamaku, selagi musibah itu tidak yang terbesar, selagi tidak menghalangiku untuk ridho kepadaNYA dan selagi aku mengharapkan pahala dariNYA."
3. Tidak ada hukuman melainkan digambarkan agar ditangguhkan hingga akherat. Siapa yang hukumannya disegerakan di dunia, maka di akherat dia tidak lagi dihukum.
4. Musibah itu tertulis di Ummul-Kitab, jadi tidak ada yang mampu menghalanginya. Barangsiapa tabah, maka itu merupakan nikmat.
5. Pahala karena musibah itu lebih besar. Sebab berbagai musibah di dunia merupakan jalan ke akherat. Besok hamba akan bersyukur setelah melihat pahala dari musibah yang menimpanya. Musibah adalah didikan Alloh dan kasih sayangNYA kepada hamba, kasih sayang yang lebih sempurna dan lebih komplit daripada kasih sayang orang tua terhadap anaknya. Dalam sebuah hadits Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam bersabda, "Alloh tidak menetapkan suatu qodho bagi orang mukmin, melainkan itu merupakan kebaikan baginya." (HR Ahmad).

Begitu besar hikmah dibalik musibah. Lalu apakah kita harus memohon musibah kepada Alloh Ta'ala untuk mendapatkan hikmah-hikmah tersebut? Tentu tidak demikian. Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam telah membimbing kita dalam perkara ini.

Dalam hadits dari riwayat Anas disebutkan bahwa Nabi shollallohu alaihi wa sallam bertanya kepadanya, "Apakah engkau pernah berdoa dengan sesuatu atau memohonnya?"
"Ya," jawab Anas, "Aku berkata: ya Alloh, kalau memang Engkau hendak menghukumku di akherat, maka segerakanlah hukuman itu bagiku di dunia."
Lalu Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam bersabda, "Subhanalloh, engkau tidak akan kuat menanggungnya dan tidak sanggup. Mengapa tidak engkau katakan: ya Alloh, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akherat serta lindungilah kami dari siksa neraka?" (HR Muslim dan yang lain).

Juga dari hadits Anas rodhiyallohu anhu, bahwa ada seorang laki-laki berkata, "Wahai Nabi Alloh, apakah doa yang paling utama itu?"
Beliau menjawab, "Mohonlah ampunan dan afiat kepada Alloh, di dunia dan di akherat."
Besoknya orang itu datang lagi dan berkata, "Wahai Rosululloh, apakah doa yang paling utama itu?"
Beliau menjawab, "Mohonlah ampunan dan afiat kepada Alloh, di dunia dan di akherat."
Besoknya orang itu datang lagi ketiga kalinya dan berkata, "Wahai Rosululloh, apakah doa yang paling utama itu?"
Beliau menjawab, "Mohonlah ampunan dan afiat kepada Alloh, di dunia dan di akherat. Jika engkau diberi ampunan dan afiat di dunia dan di akherat, maka engkau telah beruntung." (HR At Tirmidzi dan yang lain).

Di dalam Ash Shohihain disebutkan bahwa Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam bersabda, "Berlindunglah kalian kepada Alloh dari musibah yang berat, kemalangan yang berturut-turut, qodho yang buruk dan kegembiraan musuh." (HR Bukhori dan Muslim).

Muthorrif berkata, "Aku lebih suka diberi afiat lalu bersyukur daripada ditimpa musibah lalu bersabar."

Hendaklah kita bersikap pertengahan dalam menghadapi musibah, tidak murung terus-menerus, tidak pula minta ditimpakan musibah. Dan setiap orang yang mampu mengenyahkan musibah, maka tidak diperintahkan sabar menghadapinya. Misalnya, orang yang menderita kehausan karena sengaja tidak mau minum. Orang seperti ini bukan disuruh sabar tetapi diperintahkan untuk minum supaya tidak menderita kehausan lagi. Sabar berlaku tatkala menghadapi penderitaan yang tidak mampu dienyahkan seseorang. Jadi, sabar di dunia kembali kepada sesuatu yang tidak mutlak merupakan musibah. Bahkan bisa saja berupa nikmat. Maka yang terbaik adalah memadukan antara sabar dengan syukur dalam menghadapi sesuatu.

Wallohu a'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

*Memperbaiki diri adalah alat yang ampuh untuk memperbaiki orang lain*
Silakan berkomentar dengan sopan dan tidak bertentangan dengan syari'at.
Terima kasih.